Sengketa Perdata Yang Dipaksakan Menjadi Pidana: Catatan Kritis Atas Kasus Ahmad Kanedi

Oleh: Muspani, SH., MH*

Dalam pusaran kasus Mega Mall Bengkulu yang menyeret nama Ahmad Kanedi—mantan Wali Kota Bengkulu—ke dalam status tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu, publik harus jernih memisahkan antara masalah hukum perdata dan pidana. Sebab dalam kasus ini, batas itu tampaknya diabaikan secara sadar.

Saya ingin mengajak masyarakat berpikir kritis: apakah benar terjadi korupsi, atau hanya terjadi salah tafsir atas kontrak dan kebijakan masa lalu?

Kronologi Singkat: Di Mana Masalahnya?
Perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kota Bengkulu dengan pihak swasta—yang bertujuan membangun Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM)—ditandatangani tahun 2004 oleh wali kota sebelumnya, lengkap dengan persetujuan DPRD dan akta notaris. Perjanjian ini mengatur bahwa pihak swasta dapat membangun di atas lahan milik Pemkot yang berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Nantinya, jika pembangunan dimulai, baru akan terbit Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

Anehnya, Ahmad Kanedi—yang baru menjabat pada 2007, bertahun-tahun setelah perjanjian diteken—dituduh membiarkan terjadinya “pengagunan SHGB”, padahal objek hukum yang disebut tidak pernah ada.

Dimensi Perdata yang Diubah Jadi Pidana
Sengketa sebenarnya dalam kasus ini adalah ketidakmenerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) oleh Pemkot dari bagi hasil mall yang dioperasikan swasta. Dalam perjanjian, jika terjadi pelanggaran oleh investor, penyelesaian dilakukan melalui jalur perdata, tepatnya di Pengadilan Negeri Bengkulu.

Inilah akar kekeliruan besar: wanprestasi (ingkar janji) investor dijadikan sebagai alasan untuk menjerat wali kota sebagai tersangka pidana korupsi. Padahal, hukum perdata mengenal sanksi ganti rugi, bukan pidana penjara.

Kriminalisasi Administrasi: Bahaya Laten dalam Hukum
Dalam praktik hukum kita, sering terjadi pejabat publik dikenai pasal korupsi hanya karena dianggap lalai atau tidak cukup tegas mengawasi mitra kerja sama. Ini dikenal sebagai “pasal karet” dalam Pasal 3 UU Tipikor: penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Namun yang dilupakan adalah: dalam negara hukum, tidak semua pelanggaran administratif otomatis menjadi tindak pidana. Harus ada niat jahat (mens rea) dan keuntungan pribadi (self-enrichment) yang terbukti nyata.

Baca Juga :  Ketika Saksi Lupa Pernah Bilang “Sah”

Dalam kasus Ahmad Kanedi, belum ditemukan bukti bahwa ia menerima keuntungan, menyetujui pengagunan SHGB, atau memfasilitasi pelanggaran. Maka, penetapan tersangka atas dasar asumsi atau kelalaian pasif tanpa dua alat bukti yang sah adalah cacat hukum.

Jangan Hukum yang Bekerja, Tapi Dendam
Kasus ini bukan hanya tentang Ahmad Kanedi. Ini tentang bagaimana hukum bisa digunakan sebagai alat menekan, menggiring opini, atau bahkan menyingkirkan lawan-lawan politik. Ketika tafsir hukum digunakan semaunya, maka pejabat yang hanya menjalankan perjanjian sah pun bisa dibui—sementara para pelanggar kontrak justru lolos tanpa sanksi.

Kita butuh hukum yang waras, bukan hukum yang kejam. Kita butuh hakim yang berpikir, bukan yang panik. Kita butuh jaksa yang adil, bukan agresif membabi buta. Hukum harus berpihak pada kebenaran—bukan pada dugaan yang dipaksakan.

*Muspani, SH., MH. adalah advokat dan analis hukum publik, pendiri kantor hukum Muspani & Associate.

Previously

Politik Anggaran Helmi Hasan

Next

Gubernur Siapkan Bonus untuk "Harimau Sumatera" Deni Arif Fadhillah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TedLINE.id
advertisement
advertisement