Ketika Saksi Lupa Pernah Bilang “Sah”

Oleh: Tedi Cho*
Aksi demonstrasi mahasiswa yang menyoroti kenaikan pajak kendaraan bermotor di Bengkulu menyita perhatian publik beberapa hari terakhir. Mereka menyasar Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan, sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas melonjaknya beban pajak kendaraan yang kini disebut-sebut sebagai yang tertinggi se-Indonesia.
Namun, jika kita bedah lebih dalam, sasaran demo ini tampaknya salah alamat. Gubernur Helmi Hasan baru menjabat sejak 20 Februari 2025. Artinya, beliau belum genap empat bulan memimpin.
Sementara kebijakan kenaikan pajak itu bersumber dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2023, sebuah produk hukum yang disahkan jauh sebelum Helmi duduk di kursi gubernur. Lebih tepatnya, disahkan oleh DPRD Provinsi Bengkulu bersama pemangku kepentingan eksekutif sebelumnya.
Yang ironis, sebagian dari para anggota DPRD yang kini ikut turun ke jalan berdemo bersama mahasiswa, justru adalah mereka yang dulu mengesahkan Perda tersebut. Ibarat saksi dalam pernikahan yang dulu mengucap “sah”, kini mereka ikut bersorak seolah-olah tak tahu-menahu bahwa merekalah yang pernah menyetujui ijab kabulnya.
Dalam sistem legislasi daerah, perda tidak terbit begitu saja. Ia adalah hasil kesepakatan antara DPRD dan eksekutif. Artinya, semua pasal, termasuk tarif pajak yang kini memberatkan masyarakat, telah melalui pembahasan dan persetujuan legislatif.
Maka ketika para dewan yang dulu berteriak “setuju” saat palu diketuk, tapi kini ikut turun kejalan, publik berhak bertanya: apakah mereka sedang lupa ingatan? Atau sedang bermain sandiwara politik?
Mahasiswa memang memiliki semangat perubahan yang patut diapresiasi. Namun dalam hal ini, arah kritik perlu diluruskan. Demonstrasi seharusnya dilakukan jauh hari, saat proses pengesahan Raperda. Atau setidaknya diarahkan kepada para pihak yang memiliki jejak langsung dalam meloloskan kebijakan bermasalah ini.
Lebih elok bila para anggota DPRD yang ikut mengesahkan Perda 7/2023 berani tampil ke publik dan menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat. Akui bahwa mereka keliru, atau bahwa ada kekhilafan dalam proses pembahasan perda. Sebab keberanian untuk bertanggung jawab jauh lebih terhormat ketimbang berdiri di barisan yang menuduh, seolah tak pernah menjadi bagian dari masalah.
Sebagai wakil rakyat, para anggota dewan seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat, bukan justru mempermainkan kesadaran publik demi pencitraan.
Rakyat butuh kejujuran, bukan teatrikal politik.
*Jurnalis di Kota Bengkulu