Dari Rumah Sederhana ke Fakultas Kedokteran UI: Perjalanan Iqbal Rasyid Menembus Batas

Di sebuah rumah sederhana di Bengkulu, harapan besar tumbuh dalam diri seorang remaja bernama Iqbal Rasyid Achmad Faqih. Terlahir dari keluarga dengan penghasilan pas-pasan, Iqbal tak pernah menyerah pada keadaan. Hari ini, namanya tercatat sebagai salah satu calon mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), kampus impian banyak pelajar di seluruh negeri.
Lahir pada 30 Juni 2007, Iqbal tumbuh dalam lingkungan penuh keterbatasan. Ayahnya, Agus Hermanto, bekerja sebagai buruh harian lepas, sementara sang ibu, Suhaima, sepenuhnya mengurus rumah tangga. Namun, dari rumah kecil itulah muncul mimpi besar: menjadi seorang dokter.
Sejak duduk di bangku SMP Negeri 1 Kota Bengkulu, Iqbal telah menunjukkan ketekunannya dalam belajar. Ia bukan hanya siswa yang rajin di kelas, tapi juga aktif dalam berbagai lomba—cerdas cermat, olimpiade sains, riset ilmiah, hingga lomba hadits. Salah satu pencapaian membanggakan datang ketika ia berhasil meraih medali perunggu bidang IPA di ajang Kompetisi Sains Nasional (KSN).
Langkah Iqbal tak terhenti di sana. Ia melanjutkan pendidikan di MAN Insan Cendekia Bengkulu Tengah melalui jalur beasiswa. Di madrasah ini, bakat dan semangatnya semakin terasah. Fisika, riset, dan debat Bahasa Indonesia menjadi bidang yang ia dalami. Ia kembali membawa nama Bengkulu ke tingkat nasional dalam ajang Kompetisi Sains Madrasah (KSM) di Ternate, Maluku Utara.
Menjelang kelas 12, Iqbal mulai fokus pada satu tujuan besar: lulus ke Fakultas Kedokteran UI lewat Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Sejak semester pertama, ia sudah mencicil materi UTBK, mengikuti berbagai tryout, membuat kelompok belajar, dan mengikuti bimbingan intensif yang difasilitasi madrasah.
“Libur sekolah bukan waktu untuk santai. Saya dan teman-teman belajar di Perpustakaan Daerah Bengkulu dari pagi sampai sore, malamnya belajar bareng di rumah secara bergiliran,” cerita Iqbal.
Namun, jalan menuju impian tidak selalu mulus. Iqbal sempat gagal dalam jalur SNBP. Tapi, kegagalan itu justru menjadi pelecut semangat. Ia terus belajar dengan giat, memperbaiki strategi, dan akhirnya—usaha itu terbayar. Iqbal dinyatakan lolos SNBT ke Fakultas Kedokteran UI.
“Kuncinya adalah konsistensi dan menjaga semangat belajar. Bukan cuma rajin, tapi juga menjaga kesehatan mental agar tidak burnout. Lingkungan belajar yang positif dan evaluasi diri itu penting,” ujarnya mantap.
Kini, Iqbal menghadapi tantangan baru: biaya pendidikan. Jakarta bukan kota murah, dan menjadi mahasiswa kedokteran berarti menempuh pendidikan panjang dengan biaya tinggi. Tapi Iqbal tak gentar.
“Saya tidak ingin membebani orang tua. Harapan saya bisa menjalani kuliah dengan lancar dan membanggakan mereka,” katanya.
Dukungan keluarga menjadi bahan bakar semangat Iqbal. Sang ayah, Agus Hermanto, tak bisa menyembunyikan rasa haru dan bangganya. “Saya siap berkorban apa pun demi anak saya. Meski penghasilan pas-pasan, saya percaya anak saya akan berhasil dengan ketekunan dan pertolongan Allah,” tuturnya sambil menahan air mata.
Kisah Iqbal Rasyid adalah pengingat bahwa mimpi besar tidak hanya milik mereka yang lahir dari kelimpahan. Dengan tekad, kerja keras, dan doa, siapa pun bisa menembus batas dan membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan luar biasa.
Editor: Tedi Cho