Jerat Hukum dan Ketakutan Investor: Kasus Mega Mall dan Masa Depan Ekonomi Bengkulu

Oleh: Muspani, SH., MH*
Kasus hukum yang menimpa proyek Mega Mall Bengkulu saat ini bukan hanya mengguncang ruang sidang, tapi juga mengguncang kepercayaan para pelaku usaha. Ketika dua tokoh penting dari pihak swasta, yakni Kurniadi Benggawan dan Wahyu Laksono, ditahan, serta mantan Wali Kota Ahmad Kanedi ditetapkan sebagai tersangka, publik tentu bertanya-tanya: apakah ini semata soal hukum, atau ada dampak lebih luas yang luput dari perhatian kita?
Jawabannya jelas: ada dampak besar, terutama pada kepercayaan dunia usaha dan iklim investasi di Kota Bengkulu.
Di dunia bisnis, kontrak adalah segalanya. Para investor mengandalkan keabsahan dokumen, legalitas notaris, serta dukungan peraturan daerah dan persetujuan DPRD.
Namun yang terjadi di Bengkulu sungguh di luar kebiasaan. Perjanjian yang dibuat hampir dua dekade lalu, yang ketika itu sudah dianggap sah dan resmi, kini menjadi dasar penetapan tersangka dan penahanan. Bahkan Ahmad Kanedi, yang baru menjabat setelah perjanjian diteken, ikut dijadikan pihak yang bertanggung jawab secara pidana.
Kondisi ini memunculkan ketakutan besar yang disebut para ekonom sebagai “chilling effect”. Artinya, pelaku usaha, investor, dan pejabat publik mulai takut melangkah. Mereka ragu-ragu membuat keputusan, enggan menandatangani kerja sama, bahkan cenderung pasif dalam urusan administrasi. Bukan karena mereka tidak mau bekerja, tapi karena takut suatu hari akan dipersoalkan secara pidana. Inilah situasi yang membunuh semangat pembangunan.
Investor yang tadinya ingin membangun pusat kuliner, hotel, atau pasar modern di Bengkulu kini mulai berpikir ulang. Pertanyaannya sederhana: jika seorang wali kota saja bisa diseret ke ranah hukum karena perjanjian yang bukan ia buat, bagaimana nasib saya nanti sebagai pengusaha?. Pertanyaan seperti ini sangat merusak iklim investasi dan memicu gelombang penundaan, bahkan pembatalan rencana bisnis di daerah kita.
Kasus ini juga secara langsung meningkatkan apa yang disebut biaya transaksi. Bukan hanya soal uang, tapi soal waktu, rasa aman, dan jaminan keberlangsungan kontrak. Kini, pengusaha harus menghitung biaya tambahan seperti keamanan hukum, pendampingan politik, dan kemungkinan konflik regulasi yang tak terlihat sebelumnya. Di tengah iklim ketidakpastian itu, sangat mungkin para investor akhirnya memilih daerah lain yang dianggap lebih ramah dan stabil secara hukum. Bengkulu kalah sebelum bertanding.
Di sisi lain, Mega Mall dan PTM bukan bangunan biasa. Ia adalah pusat distribusi barang, tempat ratusan pedagang menggantungkan hidupnya, serta sumber PAD bagi Kota Bengkulu. Ketika pengelolanya terjerat kasus hukum dan status hukumnya tak jelas, operasional mall ikut lumpuh. Tenant besar hengkang, UMKM terganggu, dan aliran barang dari luar kota tersumbat.
Efeknya terasa langsung di pasar tradisional, toko-toko kecil, hingga daya beli masyarakat. Rantai ekonomi yang sudah dibangun justru lumpuh karena konflik hukum yang semestinya bisa dicegah sejak awal.
Yang lebih mengkhawatirkan, kasus ini bukan hanya berdampak ke dalam, tapi juga ke luar. Di Jakarta, atau bahkan di luar negeri, citra Bengkulu bisa tergambar sebagai “daerah merah” — sebuah istilah tidak resmi yang menunjukkan bahwa daerah tersebut berisiko tinggi untuk investasi. Berita soal penahanan investor dan kriminalisasi kontrak bisa dibaca sebagai sinyal buruk oleh kementerian, lembaga keuangan, dan calon mitra swasta.
Jika tidak ada klarifikasi atau pernyataan resmi dari pemerintah daerah, citra ini bisa bertahan lama dan mempengaruhi peringkat Bengkulu dalam daftar tujuan investasi nasional.
Lebih parah lagi, pengusaha lokal pun ikut terdampak. Banyak dari mereka kini enggan ambil bagian dalam proyek pemda. Takut mengelola aset, takut ambil kredit usaha, takut ikut program kerja sama. Profesional seperti notaris dan konsultan hukum juga mulai menjauh dari proyek-proyek daerah. Akhirnya, aktivitas ekonomi lokal terhambat, dan potensi pertumbuhan ekonomi justru melemah dari dalam.
Padahal, seharusnya hukum menjadi penjamin kepastian, bukan penyebab ketakutan. Kita semua mendukung pemberantasan korupsi, tapi pemberantasan itu harus tepat sasaran dan proporsional. Tidak semua kesalahan administratif harus masuk ke ranah pidana.
Tidak semua keputusan pejabat yang berdampak keuangan harus dianggap sebagai kejahatan. Perlu keberanian untuk membedakan mana yang pelanggaran prosedur, mana yang benar-benar niat jahat.
Pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkot dan Pemprov Bengkulu, perlu segera mengambil sikap. Sampaikan kepada publik dan dunia usaha bahwa investasi di Bengkulu masih aman, dan bahwa pemerintah menjamin kepastian kontrak. Bentuk gugus tugas pemulihan citra investasi. Libatkan pelaku usaha, akademisi, dan aparat hukum untuk duduk bersama merumuskan langkah-langkah konkret.
Kita tidak bisa membiarkan Bengkulu dilumpuhkan oleh ketakutan kolektif. Pembangunan membutuhkan keberanian, tapi juga membutuhkan perlindungan hukum yang sehat. Jangan biarkan kasus Mega Mall menjadi kuburan bagi masa depan investasi daerah ini.
Karena membangun kepercayaan itu mahal, dan sekali rusak, butuh waktu sangat lama untuk mengembalikannya.
*Penulis adalah Advokat dan Konsultan Hukum Publik